Puan Sebut Kejaksaan Harus Perhatikan Hak atas Perlindungan Data Pribadi

Uncategorized

Pendahuluan

(±700 kata)

Dalam era digital yang serba terhubung seperti sekarang ini, perlindungan data pribadi menjadi salah satu isu yang paling krusial dalam diskursus hukum, politik, dan teknologi. Di tengah pesatnya arus informasi, transparansi kelembagaan, dan kerja-kerja penegakan hukum yang makin intensif, muncul pertanyaan besar: bagaimana memastikan hak asasi warga negara tetap terlindungi?

Pernyataan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Puan Maharani, yang menyoroti perlunya Kejaksaan Agung untuk memperhatikan hak atas perlindungan data pribadi menjadi sinyal penting dalam konteks tersebut. Hal ini disampaikan Puan menyusul penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Kejaksaan Agung dan penyelenggara jasa telekomunikasi yang memungkinkan lembaga penegak hukum tersebut mengakses informasi telekomunikasi untuk kebutuhan penyidikan tindak pidana tertentu.

Pernyataan tersebut mengundang berbagai respons dari publik, pakar hukum, hingga organisasi masyarakat sipil. Banyak yang menilai bahwa langkah Kejaksaan Agung tersebut bisa menjadi pedang bermata dua—di satu sisi memperkuat upaya pemberantasan kejahatan, namun di sisi lain membuka potensi pelanggaran hak atas privasi jika tidak dikawal dengan mekanisme akuntabilitas dan kontrol yang memadai.

Kritik dan kekhawatiran yang disampaikan oleh Puan bukan tanpa dasar. Sebagai pemimpin lembaga legislatif yang merepresentasikan suara rakyat, ia menekankan bahwa akses terhadap data pribadi masyarakat tidak bisa dilakukan secara sembarangan dan harus tunduk pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku, termasuk Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

Pentingnya perlindungan terhadap data pribadi tidak hanya menyangkut kerahasiaan informasi perorangan, melainkan juga menjadi bagian integral dari hak asasi manusia yang dijamin konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28G ayat (1) menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Dalam konteks penegakan hukum, keberimbangan antara wewenang penyidikan dan hak warga negara atas privasi adalah kunci utama. Negara memang memiliki hak untuk menindak kejahatan, namun tidak boleh mengorbankan prinsip-prinsip dasar perlindungan hak individu.

Melalui artikel ini, kita akan mengulas secara komprehensif pernyataan Puan Maharani dalam berbagai dimensi: hukum, etika, HAM, serta tata kelola kelembagaan. Pembahasan akan mencakup latar belakang kerja sama antara Kejaksaan dan operator telekomunikasi, regulasi perlindungan data pribadi di Indonesia, tantangan implementasi UU PDP, serta bagaimana seharusnya penegakan hukum tetap menjaga prinsip checks and balances dalam negara hukum yang demokratis.

Latar Belakang MoU Kejaksaan dan Operator Telekomunikasi

Kerja sama antara Kejaksaan Agung dan penyelenggara jasa telekomunikasi bukanlah hal yang muncul secara tiba-tiba. Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan teknologi komunikasi yang pesat dan kompleksitas kejahatan siber menuntut aparat penegak hukum memiliki akses yang memadai untuk melakukan penyidikan secara efektif. Oleh karena itu, pemerintah melalui Kejaksaan Agung melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) dengan sejumlah operator telekomunikasi nasional.

Tujuan utama dari MoU ini adalah memberikan legalitas dan mekanisme prosedural bagi Kejaksaan untuk memperoleh data dan informasi komunikasi yang disimpan oleh operator telekomunikasi. Data ini dapat berupa rekaman telepon, metadata panggilan, pesan teks, atau data internet yang berkaitan dengan dugaan tindak pidana seperti korupsi, terorisme, narkotika, dan kejahatan transnasional lainnya.

MoU ini dianggap sebagai langkah progresif guna meningkatkan efektivitas penegakan hukum dan mempercepat proses investigasi. Selama ini, pengumpulan data komunikasi seringkali terkendala oleh peraturan yang ketat, prosedur birokrasi, dan hambatan teknis. Dengan adanya MoU, Kejaksaan Agung mendapatkan akses langsung dan prosedur yang lebih jelas dalam mendapatkan data yang dibutuhkan.

Namun, meskipun niat utama dari MoU ini adalah demi kelancaran penyidikan, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran serius terkait potensi pelanggaran hak atas perlindungan data pribadi masyarakat. Data komunikasi seseorang, baik berupa isi pembicaraan maupun metadata, sangatlah sensitif dan dapat membuka akses ke ranah privasi yang dalam.

Para ahli hukum dan perlindungan data mengingatkan bahwa penyadapan dan akses data telekomunikasi harus dilakukan dengan prosedur yang ketat dan jelas, termasuk pengawasan dari lembaga independen dan perintah pengadilan. Tanpa kontrol ini, potensi penyalahgunaan data untuk kepentingan di luar penyidikan hukum bisa terjadi, misalnya untuk kepentingan politik, bisnis, atau tindakan represif.

Dalam konteks ini, Ketua DPR RI, Puan Maharani, menekankan perlunya Kejaksaan Agung tidak hanya berfokus pada pemberantasan kejahatan, tetapi juga wajib memperhatikan hak-hak warga negara atas privasi dan perlindungan data pribadi yang dijamin oleh undang-undang. Puan menyatakan bahwa setiap akses terhadap data pribadi harus memiliki dasar hukum yang kuat dan dilengkapi dengan mekanisme pengawasan agar tidak melanggar hak asasi manusia.

Pernyataan tersebut mengandung pesan bahwa efektivitas penegakan hukum harus berjalan seiring dengan penghormatan terhadap prinsip-prinsip hak asasi dan hukum yang adil. Kejaksaan Agung, sebagai lembaga yang berwenang dalam penegakan hukum, harus menjadi contoh pelaksanaan hukum yang berkeadilan dan tidak menimbulkan ketakutan di masyarakat akibat penyalahgunaan wewenang.

Lebih lanjut, UU Perlindungan Data Pribadi yang disahkan pada tahun 2022 memberikan payung hukum baru yang mengatur tata cara pengelolaan data pribadi termasuk yang dimiliki oleh penyelenggara jasa telekomunikasi. UU ini mengatur hak pemilik data, kewajiban pengelola data, serta mekanisme perlindungan hukum apabila terjadi pelanggaran data pribadi.

Oleh karena itu, sinergi antara MoU yang mengatur akses data dan UU Perlindungan Data Pribadi harus berjalan harmonis. Penegak hukum harus memastikan bahwa pengambilan data komunikasi memenuhi syarat legal, proporsional, dan berkeadilan. Pengawasan dari DPR dan lembaga negara lain juga sangat penting agar hak-hak warga negara tidak terabaikan.

Penjelasan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) di Indonesia

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) merupakan tonggak penting dalam regulasi perlindungan data di Indonesia. UU ini disahkan sebagai respons atas tantangan era digital dan pesatnya perkembangan teknologi informasi yang mengubah cara data pribadi dikumpulkan, diproses, dan disimpan.

UU PDP bertujuan utama melindungi hak-hak individu atas data pribadinya dan memberikan landasan hukum yang jelas bagi pengelolaan data, baik oleh pemerintah maupun oleh pihak swasta. Secara umum, UU ini menetapkan prinsip-prinsip pengelolaan data pribadi, hak subjek data, kewajiban pengendali data, serta mekanisme penegakan hukum terhadap pelanggaran data pribadi.

Prinsip-prinsip dalam UU PDP

UU PDP menegaskan beberapa prinsip fundamental dalam pengelolaan data pribadi, di antaranya:

  1. Legalitas: Pengumpulan dan pengolahan data harus memiliki dasar hukum yang jelas dan sah.
  2. Tujuan yang Jelas: Data hanya boleh dikumpulkan untuk tujuan tertentu dan tidak boleh digunakan secara sewenang-wenang.
  3. Transparansi: Subjek data berhak mendapat informasi terkait pengumpulan dan penggunaan data pribadinya.
  4. Keamanan Data: Pengelola data wajib menjaga keamanan dan kerahasiaan data agar tidak terjadi kebocoran atau penyalahgunaan.
  5. Akses dan Koreksi: Subjek data berhak mengakses dan meminta perbaikan data pribadinya yang keliru.
  6. Batasan Penyimpanan: Data pribadi tidak boleh disimpan lebih lama dari yang diperlukan untuk tujuan pengumpulan.
  7. Pertanggungjawaban: Pengendali data harus bertanggung jawab atas pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut.

Hak Subjek Data

UU PDP juga mengatur hak-hak subjek data, yaitu:

  • Hak untuk diberitahu tentang pengumpulan dan penggunaan data.
  • Hak untuk mengakses data pribadi yang disimpan.
  • Hak untuk memperbaiki data yang tidak akurat.
  • Hak untuk menarik persetujuan pengolahan data.
  • Hak untuk mengajukan keberatan atas pengolahan data.
  • Hak untuk meminta penghapusan data pribadi.

Kewajiban Pengelola Data

Pengelola data, termasuk pemerintah dan swasta, wajib memenuhi kewajiban seperti:

  • Memastikan persetujuan subjek data saat mengolah data.
  • Melakukan penilaian dampak perlindungan data (Data Protection Impact Assessment) sebelum pengolahan data.
  • Melaporkan insiden kebocoran data kepada otoritas yang berwenang.
  • Menyimpan data dengan standar keamanan yang tinggi.
  • Menjalin kerja sama dengan otoritas perlindungan data.

Pengawasan dan Penegakan Hukum

UU PDP juga membentuk lembaga khusus, yakni Otoritas Perlindungan Data Pribadi (OPDP), yang bertugas mengawasi pelaksanaan UU ini, memberikan edukasi, serta menindak pelanggaran dengan sanksi administratif hingga pidana.

Dalam konteks MoU antara Kejaksaan dan operator telekomunikasi, UU PDP menegaskan bahwa pengumpulan dan akses data harus memenuhi persyaratan legal dan proporsional, serta memperhatikan hak subjek data.

Implikasi bagi Penegakan Hukum

Penegak hukum, termasuk Kejaksaan Agung, diharapkan menjadi contoh penerapan UU PDP yang baik. Meski memiliki kewenangan penyidikan, Kejaksaan harus memastikan bahwa akses ke data pribadi dilakukan sesuai mekanisme hukum, misalnya dengan persetujuan pengadilan, dan tidak melampaui batas kewenangan yang diatur.

Puan Maharani dalam pernyataannya menekankan pentingnya ini, agar penegakan hukum tidak justru mengabaikan hak warga negara atas privasi. Kesadaran akan prinsip-prinsip UU PDP harus melekat dalam setiap proses pengumpulan dan penggunaan data agar tidak menimbulkan penyalahgunaan.

UU PDP membuka ruang bagi masyarakat untuk mendapatkan perlindungan hukum yang memadai bila terjadi pelanggaran, sekaligus mendorong transparansi dan akuntabilitas pengelola data. Ini juga menjadi alat kontrol demokratis agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dalam penyadapan atau pengumpulan data telekomunikasi.

Pernyataan Puan Maharani dan Analisisnya

Ketua DPR RI, Puan Maharani, dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa Kejaksaan Agung harus memperhatikan hak atas perlindungan data pribadi masyarakat dalam menjalankan tugas penyidikan dan penegakan hukum. Pernyataan ini menjadi sorotan penting karena datang dari figur politik dan legislatif yang memiliki peran strategis dalam pengawasan lembaga penegak hukum.

Inti Pernyataan Puan Maharani

Puan menyampaikan bahwa meskipun Kejaksaan memiliki kewenangan dalam penyidikan tindak pidana, kewenangan tersebut tidak boleh dilakukan secara arbitrer tanpa memperhatikan aspek perlindungan data pribadi yang dilindungi oleh Undang-Undang PDP. Ia menekankan bahwa akses terhadap data pribadi harus dilakukan dengan mekanisme yang jelas, transparan, dan sesuai prosedur hukum yang berlaku.

Selain itu, Puan juga mengingatkan perlunya mekanisme pengawasan yang ketat, baik oleh lembaga internal Kejaksaan maupun oleh pihak eksternal seperti DPR dan lembaga pengawas independen, untuk memastikan hak-hak warga negara tidak terganggu dalam proses penyidikan.

Analisis Pernyataan Puan

Pernyataan Puan mencerminkan perhatian yang semakin meningkat terhadap isu privasi dan perlindungan data pribadi dalam konteks penegakan hukum. Hal ini penting karena selama ini akses data oleh aparat penegak hukum sering menjadi perdebatan, terutama terkait potensi penyalahgunaan dan minimnya transparansi.

Beberapa poin penting dari pernyataan Puan dapat dianalisis sebagai berikut:

  1. Keseimbangan antara Penegakan Hukum dan Hak Privasi

Puan menegaskan bahwa pemberantasan kejahatan tidak boleh mengabaikan hak dasar warga negara. Dalam praktik penegakan hukum, keseimbangan ini sering menjadi tantangan utama. Di satu sisi, aparat perlu akses data untuk membongkar jaringan kriminal, di sisi lain, warga negara memiliki hak untuk tidak disalahgunakan data pribadinya.

  1. Prinsip Legalitas dan Prosedural

Dengan mengacu pada UU PDP dan konstitusi, Puan menuntut agar setiap akses data dilakukan berdasarkan prosedur hukum yang jelas, seperti perintah pengadilan atau kewenangan yang diatur undang-undang. Ini penting untuk mencegah tindakan penyadapan secara sembarangan yang dapat melanggar hak asasi.

  1. Pengawasan dan Akuntabilitas

Puan juga mendorong adanya pengawasan yang efektif agar pelaksanaan kewenangan akses data tidak disalahgunakan. Pengawasan ini dapat berbentuk audit rutin, laporan pertanggungjawaban, dan keterlibatan DPR dalam mengawal proses tersebut.

  1. Peran DPR sebagai Lembaga Pengawas

Sebagai Ketua DPR, Puan menunjukkan bahwa DPR memiliki fungsi strategis dalam mengawal penerapan hukum dan perlindungan hak warga negara. DPR dapat berperan dalam melakukan pengawasan kebijakan, evaluasi peraturan, dan mendorong pembentukan mekanisme pengawasan yang lebih baik.

Relevansi Pernyataan dengan Isu Kontemporer

Dalam konteks perkembangan teknologi yang semakin maju, seperti penggunaan big data, internet of things (IoT), dan kecerdasan buatan (AI), perlindungan data pribadi menjadi semakin kompleks dan menantang. Isu penyadapan dan akses data telekomunikasi menjadi salah satu contoh nyata yang membutuhkan perhatian serius dari seluruh pemangku kepentingan.

Pernyataan Puan memberikan sinyal kuat bahwa penegakan hukum di Indonesia harus modern sekaligus menghormati hak-hak fundamental, termasuk privasi. Hal ini menjadi penting agar masyarakat tidak merasa takut atau dirugikan akibat praktik pengumpulan data yang tidak transparan.

Aspek Konstitusional dan Hak Asasi Manusia Terkait Perlindungan Data Pribadi

Perlindungan data pribadi bukan sekadar isu administratif atau teknis, melainkan juga merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi dan instrumen internasional. Dalam konteks Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 dan sejumlah instrumen HAM menjadi dasar normatif yang mengatur hak privasi warga negara.

Perlindungan Hak Privasi dalam UUD 1945

Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan:

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Pasal ini memberikan payung hukum bahwa privasi dan perlindungan data pribadi adalah bagian dari hak yang fundamental. Penggunaan data pribadi tanpa persetujuan dapat dianggap sebagai pelanggaran hak atas perlindungan diri dan martabat.

Prinsip Hak Asasi Manusia dalam Perlindungan Data

Dalam perspektif internasional, hak atas privasi diakui oleh berbagai instrumen HAM, seperti:

  • Pasal 12 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh mengalami campur tangan sewenang-wenang dalam urusan pribadi, keluarga, rumah tangga, atau korespondensi.
  • Pasal 17 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang memberikan perlindungan terhadap serangan sewenang-wenang terhadap kehormatan dan privasi seseorang.
  • Rekomendasi Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dan standar internasional lainnya yang mengatur prinsip pengelolaan data pribadi.

Implikasi Konstitusional bagi Penegakan Hukum

Dalam konteks penegakan hukum, konstitusi memberikan batasan yang jelas terkait bagaimana data pribadi dapat diakses dan digunakan. Aparat penegak hukum harus memastikan bahwa tindakan mereka:

  • Dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang sah.
  • Memiliki dasar hukum yang kuat, misalnya surat perintah dari pengadilan.
  • Mengedepankan prinsip proporsionalitas dan perlindungan terhadap hak warga negara.

Pelanggaran terhadap hak atas privasi dapat menimbulkan konsekuensi hukum dan melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Oleh karena itu, pengaturan akses data harus selaras dengan ketentuan konstitusi dan standar HAM.

Hak atas Perlindungan Data Pribadi sebagai Hak Fundamental

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dan interpretasi hukum lainnya, hak atas perlindungan data pribadi kini semakin dipandang sebagai hak fundamental yang melekat pada hak atas privasi dan martabat manusia. Negara wajib memberikan jaminan perlindungan dan menciptakan mekanisme efektif untuk mencegah penyalahgunaan data.

Relevansi dengan Pernyataan Puan Maharani

Pernyataan Puan Maharani selaras dengan prinsip-prinsip konstitusional dan HAM tersebut. Dengan mengingatkan Kejaksaan Agung agar menghormati hak atas perlindungan data pribadi, Puan menegaskan bahwa penegakan hukum tidak boleh mengorbankan hak-hak fundamental warga negara.

baca juga : Pendaki Brasil di Gunung Rinjani Sudah Dievakuasi, akan Dibawa ke RS Bhayangkara melalui Jalur Darat